KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur atas nikmat
yang telah ALLAH SWT anugerahkan kepada kami. Salah satu nikmat yang terbesar
dari-Mu adalah hidup penulis. Untuk itu sebagai wujud rasa syukur kami
kepada-Mu, penulis harus mengelolanya dengan baik dan amanah. Semoga dengan
terselesainya penulisan makalah ini, penulis semakin sadar bahwa setiap tarikan
nafas adalah anugerah, takdir dan nikmat dari-Mu yang tak boleh penulis
sia-siakan. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad saw, keluarga,
sahabat, dan para pengikutnya terima kasih atas doa, teladan, perjuangan dan
kesabaran yang telah diajarkan kepada umatnya.
Makalah ini
berjudul “memenej birokrat yang berorientasi pada pelayanan” merupakan
tugas yang harus dipenuhi untuk mata kuliahpengantar ilmu administrasi negara.
Atas selesainya makalah ini, tidak terlepas dari upaya berbagai pihak yang
telah memberikan kontribusinya dalam rangka penyusunan dan penulisan makalah
ini, untuk itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu, terutama kepada dosen pembimbing, Ibu Risna Dewi , S.Sos,
MAP.
Akhirnya tiada
gading yang tak retak dan tiada mawar yang tak berduri, penulis menyatakan
sebagai manusia tidak sempurna, maka dengan senang hati penulis akan menerima
kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga karya sederhana ini
bermanfaat.
Bukit
indah, 20 November 2012
Penulis
DAFTAR
ISI
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Buruknya
birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi Asia.
Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong
meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi
Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti
dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina,
Vietnam dan India.
Di tahun
2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari
kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk.
Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan
persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka
masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi
mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat.
Para
eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga berpendapat, sebagian besar negara di
kawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers). Mereka
juga mencatat beberapa kemajuan, terutama dengan tekanan terhadap birokrasi
untuk melakukan reformasi.
Reformasi
menurut temuan PERC terjadi di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Korea
Selatan. Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2000 membaik, meskipun di
bawah rata-rata, yakni masing-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun lalu yang 8,14 dan
8,7. Tahun lalu (1999), hasil penelitian PERC menempatkan Indonesia sebagai
negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91
untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama antara
nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk.
1.2. Rumusan
Masalah
ü Apa
saja pendekatan yang perlu dilakuka dalam memenej birokrat?
ü Apa
saja perbandingan karakteristik tiga model manajemen?
1.3. Manfaat
Teman-teman
Mahasiswa/i sekalian dapat mengetahui lebih jelas bagaimana upaya yang harus
kita lakukan dalam memanage birokrasi yang berorientasi pada pelayanan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pendahuluan
Terdapat model pelayanan publik yang baik dimana hanya
dapat terwujud apabila terdapat (1) sistem pelayanan yang mengutamakan
kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa, (2) kultur pelayanan dalam
organisasi penyelenggara pelayanan dan (3) sumber daya manusia yang
berorientasi pada kepentingan pengguna jasa. Dalam teori manajemen terdapat dua
pendekatan diantaranya pendekatan yang berorientasi kontrol dengan cirinya top-down, pyramidal, hirarkhial,
mekanistik dan birokratis. Pendekatan kedua adalah pendekatan komitmen atau
pendekatan berorientasi pelibatan (involvement).
Dalam kaitannya dengan manajemen pelayanan, khususnya
pengelolaan petugas pelayanan yang berorientasi klien, pendekatan kontrol
disebut juga “production line approach to
service.” Sedangkan pendekatan yang berorientasi involvement dalam teori manajemen pelayanan disebut sebagai “employee empowerment approach to service.”
2.1.1. Pendekatan
Yang Berorientasi Pada Kontrol
Model ini menggunakan asumsi bahwa hubungan vertikal dan
hierarkial adalah cara yang terbaik untuk meningkatkan produktivitas dan
kualitas. Ciri dari pendekatan ini menurut Weber diantaranya :
1.
Pegawai adalah orang yang sangat mumpuni
di bidangnya, digaji dan hanya bekerja sebagai pegawai negeri
2.
Hirarki atas bawah sangat jelas
3.
Aturan
tentang kompetensi dan spesialisasi tegas
4.
Kedinasan dan pribadi dipisahkan
5.
Aturan ditaati dengan kaku
6.
Kegiatan
administrasi serba tertulis dan terdokumentasikan
Dalam model kontrol ini, pekerja atau birokrat
mendapatkan perintah yang sangat rinci, sedangkan yang harus berpikir,
melakukan koordinasi dan mengawasi adalah top manajer. Menurut levitt,
pelayanan akan berjalan efisien apabila :
1.
Diadakan simplifikasi pekerjaan/ tugas
2.
Dirumuskan pembagian pekerjaan yang
jelas
3.
Sebanyak
mungkin peran pekerja digantikan dengan peralatan
4.
Pekerja
sesedikit mungkin diberi kesempatan untuk mengambil keputusan
Contoh yang
sangat tepat organisasi yang sukses mengaplikasikan pendekatan ini adalah
Mc.Donald, dimana semua pekerjaan distandarisasikan dengan peralatan-peralatan
dan prosedur yang standar, sehingga pekerja akan dapat dilatih dengan cepat dan
segera siap kerja.
2.1.2. Pendekatan
Yang Berorientasi Pada Involvement
Asumsi yang dibangun dari pendekatan ini adalah pekerja
atau birokrat juga memiliki kemampuan untuk berpikir, melakukan koordinasi dan
pengawasan sebagaimana yang dapat dilakukan oleh manajer. Pendekatan ini sangat
menekankan self-control dan self-management.
Dalam pendekatan ini para pekerja diminta dan diberi
wewenang untuk memecahkan masalah dengan cara yang kreatif dan efektif. Para
pekerja pun sering diminta saran dalam kaitannya dengan pengembangan produk
atau jasa layanan yang baru. Model ini diharapkan dengan sangat berhasil di
organisasi American Express yang
bergerak di bidang perbankan dan dikenal sebagai organisasi yang sangat
menghargai pelanggan. Berbeda dengan Mc.Donald, di American Express hampir tidak ada standarisasi tugas, karena
tugas-tugas memang spesifik dan sejauh mungkin mengikuti keinginan pelanggan.
Terdapat beberapa keuntungan dengan diterapkannya
pendekatan ini diantaranya :
1.
Kebutuhan
pelangan/ klien dapat direspon dengan cepat
2.
Para
pekerja atau birokrat akan lebih merasa percaya diri
3.
Para
pekerja atau birokrat akan berinteraksi dengan konsumen secara lebih antusias
dan besifat hangat
4.
Ide-ide
inovatif tentang pelayanan yang lebih baik akan muncul
5.
Ini
juga merupakan salah satu media promosi “mouth to mouth” yang sangat efektif,
karena pelanggan yang puas akan menceritakannya pada orang lain
6.
Survey
menunjukkan bahwa pendekatan ini berhasil menaikkan produktivitas dan
efektivitas organisasi
Disisi lain, kerugian yang harus dibayar dengan
diterapkannya pendekatan ini adalah sebagai berikut :
1.
Dibutuhkan
dana yang besar khususnya untuk melakukan seleksi dan pelatihan pegawai
2.
Dibutuhkan
upah/ gaji yang lebih tinggi bagi para karyawan
3.
Dibutuhkan
waktu yang lebih lama untuk menyelenggarakan suatu pelayanan
4.
Ada
kemungkinan karyawan/ birokrat mengambil keputusan yang tidak tepat
Kedua pendekatan di atas merupakan kontinum, artinya
pendekatan yang satu merupakan kebalikan atau mempunyai ciri-ciri yang
berlawanan dengan pendekatan yang lainnya. Dengan demikian kelebihan pada
pendekatan yang satu adalah merupakan kekurangan atau kelemahan bagi pendekatan
yang lainnya, demikian juga sebaliknya.
Tabel
1
Pendekatan
Kontingensi dalam Manajemen Karyawan
Kontingensi
|
Pendekatan yang Berorientasi
Kontrol
|
Pendekatan yang Berorientasi Involvement
|
Strategi bisnis utama
|
Rendah harga, tinggi volume
|
Diferensiasi, personal
|
Ikatan dengan klien
|
Transaksi, jangka pendek
|
Hubungan, jangka panjang
|
Teknologi
|
Rutin, sederhana
|
Tidak rutin, kompleks
|
Lingkungan bisnis
|
Dapat
diramalkan, hampir tidak ada kejutan
|
Tidak menentu, banyak kejutan
|
Jenis orang yang terlibat
|
Manajer
tipe X, pekerja yang kebutuhan pertumbuhannya rendah, rendah kebutuhan sosal
dan kemampuan interpersonal rendah
|
Manajer
tipe Y, pekerja dengan kebutuhan pertunbuhan dan kebutuhan sosial tinggi
serta kemampuan interpersonal tinggi
|
Sumber
: Bowen & Lawyer sebagaimana dalam Glynn & Barnes (1995:287)
Dalam terminologi Walton, pendekatan dalam manajemen
pegawai disebut sebagai model manajemen. Walton sebagaimana dikutip oleh
Carnall (1999) menyebutkan pendekatan yang berorientasi kontrol sebagai model
manajemen kontrol, dan pendekatan yang berorientasi involvement sebagai model manajemen komitmen. Selanjutnya Walton
sebagaimana dikutip oleh Carnall (1999) juga menyatakan bahwa untuk mengubah
model manajemen kontrol menjadi model manajemen komitmen harus dilakukan
melalui model manajemen transisional. Perbedaan di antara tiga model menajemen
ini didasarkan atas beberapa hal sebagai berikut (Carnall, 1999: 41-43) :
- Prinsip
dalam mendesain pekerjaan
- Harapan
atas kinerja
- Organisasi dan manajemen : struktur, sistem dan gaya
- Sistem
intensif
- Pandangan
terhadap pekerja
- Keterbukaan
informasi
- Hubungan
manajemen – pekerja
- Filosofi
manajemen yang dipergunakan
Adapun ciri-ciri model manajemen kontrol, model manajemen
transisional secara lebih detail dapat dilihat dalam tabel 2 di bawah ini :
Tabel 2
Perbandingan Karakteristik Tiga Model Manajemen
Karakteristik
|
Model Manajemen
|
||
Model Kontrol
|
Model Transisional
|
Model Komitmen
|
|
Prinsip dalam
mendesain pekerjaan
|
Perhatian individu terbatas hanya pada pekerjaan individual
|
Ruang lingkup responsibilitas individu diperluas untuk meningkatkan
kinerja organisasi dengan cara pemecahan masalah yang partisipatoris
|
Responsibilitas individu diperluas untuk meningkatkan kinerja organisasi
|
Desain pekerjaan mereduksi keterampilan dan kemampuan berpikir pegawai
|
Tidak ada perubahan dalam mendesain pekerjaan dan mendesain akuntabilitas
|
Desain pekerjaan meningkatkan keterampilan dan kemampuan berpikir pegawai
|
|
Akuntabilitas didasarkan pada
pekerjaann individual yang dirumuskan secara baku
|
|
Akuntabilitas difokuskan pada pekerjaan tim yang dirumuskan secara luwes
sesuai dengan tuntutan situasi
|
|
Harapan atas
kinerja
|
Pengukuran standar didefinisikan sebagai kinerja minimal yang harus
dicapai
|
|
Penekanan diberikan pada pencapaian tujuan yang lebih tinggi yang
bersifat dinamis dan berorientasi pada tuntutan penyesuaian atas perubahan
lingkungan
|
Organisasi dan metoda : Struktur, sistem dan gaya
|
Struktur cenderung berlapis-lapis dengan kontrol yang bersifat top-down
|
Pada prinsipnya tidak ada perubahan atas struktur kontrol dan otoritas
|
Struktur organisasi datar dengan sistem pengaruh yang bersifat mutual
|
Koordinasi dan kontrol dilakukan atas dasar peraturan dan prosedur
|
|
Koordinasi dan kontrol dilakukan atas dasar nilai-nilai, tradisi dan
tujuan milik bersama
|
|
Manajemen menekankan pentingnya hak prerogatif dan otoritas berdasar
jabatan
|
|
Manajemen menekankan pentingnya pemecahan masalah, informasi yang relevan
dan keahlian
|
|
Simbol status
dipergunakan untuk memperkuat hirarki
|
Mulai dilakukan perubahan, misalnya dengan mengembangkan partisipasi
|
Simbol-simbol
status diminimalisasi untuk memperpendek hirarki
|
|
Sistem
insentif
|
Jika memang dimungkinkan diusahakan untuk mengembangkan sistem insentif
yang bersifat individual
|
Biasanya tidak ada perubahan dalam konsep insentif
|
Insentif didasarkan atas kinerja demmi untuk mengembangkan kebersamaan
dan pencapaian kelompok (bagian keuntungan)
|
Sistem indentif disesuaikan dengan evaluasi atas pekerjaan
|
|
Sistem
insentif bersifat individual sesuai dengan keahlian dan kinerja
|
|
Jika terjadi penurunan profit pengurangan insentif didasarkan atas sistem
penggajian
|
Pengurangan dilakukan secara adil dengan didasarkan atas kontribusi
diantara kelompok-kelompok pegawai
|
Pengurangan dilakukan secara adil dengan didasarkan atas komitmen dan
pencapaian hasil
|
|
Pandangan
terhadap pekerja
|
Pekerja atau pegawai diangggap sebagai biaya dalam proses produksi
|
Di sini sangat ditekankan pentingnya ipartisipasi
|
Di sini ada komitmen yang sangat tinggi terhadap pekerja. Ada priorita
yang besar untuk mengembangkan pegawai
|
Keterbukaan
informasi
|
Informasi yang diberikan kepada pegawai sangat dibatasi
|
Ada perluasan informasi yang diberikan tapi beum untuk semua pegawai
|
Informasi diberikan kepada semua pegawai dengan harapan akan tercipta
partisipasi yang luas dalam segala hal
|
Informasi bisnis atau dinas yang diberikan terbatas kepada pegawai yang
dianggap benar-benar memerlukannya
|
Informasi bisnis atau dinas mulai disebarkan secara terbatas
|
Informasi bisnis atau dinas disebarkan secara luas kepada semua pegawai
|
|
Hubungan manajemen-pekerja
|
Hubungan manajemen – pekerja didasarkan atas konflik kepentingan
|
Hubungan manajemen – pekerja didasarkan atas tujuan-tujuan bersama dan
untuk kepentingan perubahan program kerja
|
Hubungan manajemen – pekerja didasarkan atas kepentingan mutual diantara
keduanya. Mereka dapat membuat perencanaan bersama dan mengembangkan peran
mereka secara bersama-sama
|
Filosofi
manajemen yang dipergunakan
|
Filosofi manajemen ditekankan kepada pentingnya kewajiban semata terhadap
pemegang saham
|
Ada tim ad hoc untuk menentukan
skala prioritas
|
Filosofi manajemen ditekankan kepada pentingnya kewajiban terhadap
stakeholders
|
Sumber : Carnall (1999 : 41-43)
2.2. Kebijakan Manajemen SDM
Kebijakan manajemen SDM di pegawai negeri Indonesia
diatur dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang pokok-pokok kepegawaian. Kebijakan
makronya dapat dilihat dalam pasal 12 dan pasal 13 yang dikutip seperti dibawah
ini :
Pasal 12
(1)
Manajemen Pegawai Negeri Sipil diarahkan
untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara
berdaya guna dan berhasil guna.
(2)
Untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperlukan
Pegawai Negeri Sipil yang profesional, bertanggungjawab, jujur dan adil melalui
pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karir
yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja
Pasal
13
(1)
Kebijaksanaan manajemen Pegawai Negeri
Sipil mencakup penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan,
pengembangan kualitas sumber daya Pegawai Negeri Sipil, pemindahan gaji,
tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban dan kedudukan hukum
(2)
Kebijaksanaan
manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur dalam ayat (1), berada pada
Presiden selaku Kepala Pemerintahan
(3)
Untuk
membantu Presiden dalam merumuskan kebijaksanaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan memberikan pertimbangan tertentu, dibentuk Komisi Kepegawaian
Negara yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden
(4)
Komisi
Kepegawaian Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), terdiri dari 2 (dua)
Anggota tetap yang berkedudukan sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi, serta 3
(tiga) Anggota Tidak Tetap yang kesemuanya diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden
(5)
Ketua
dan Sekretaris Komisi Kepegawaian Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
secara ex officio menjabat sebagai
Kepala dan Wakil Kepala Badan Kepegawaian Negara
(6)
Komisi
Kepegawaian Negara mengadakan sidang sekurang-kurangnya sekali dalam satu
bulan.
Berdasarkan undang-undang tersebut di atas dalam Bab I,
ayat 1, butir 8, dituliskan bahwa fungsi manajemen pegawai negeri sipil
mencakup delapan hal, yaitu :
1.
Perencanaan
2.
Pengadaan
3.
Pengembangan kualitas
4.
Penempatan
5.
Promosi
6.
Penggajian
7.
Kesejahteraan
8.
Pemberhentian
2.3. Evaluasi
Kebijakan Manajemen SDM
Pelayanan yang baik hanya akan dapat
diwujudkan antara lain apabila manajemen sumber daya manusia dilakukan dengan
mengedepankan kepentingan pengguna jasa, yaitu dengan menerapkan pendekatan
kontingensi dalam mengelola pegawai. Pegawai negeri sebagai penyelenggara jasa pelayanan seharusnya dikelola
dengan menggunakan pendekatan ini. Akan tetapi apabila dicermati review kebijakan manajemen SDM pegawai
negeri, ternyata manajemen SDM pegawai negeri masih belum berorientasi kepada
kepentingan pengguna jasa. Model manajemen SDM sebagaimana diatur dalam UU No.
43 Tahun 1999 sangat kaku dan oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa model
manajemen SDM pegawai negeri tidak menggunakan pendekatan kontingensi dan tidak
berorientasi kepada kepentingan pengguna jasa. Hal ini dapat
dilihat dari indikasi sebagai berikut :
1.
Secara makro dalam pasal 12 ayat 1
disebutkan bahwa manajemen PNS diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan pembangunan secara berdayaguna dan berhasil guna. Hal ini
berarti pegawai negeri lebih diarahkan untuk memenuhi kepentingan Pemerintah
daripada kepentingan masyarakat selaku pengguna jasa pelayanan. Oleh karena itu, ada slogan bahwa pegawai negeri adalah
abdi negara.
2.
Fungsi
perencanaan dan pengadaan juga secara tegas dinyatakan untuk memperlancar
pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, bukannya untuk kepentingan
pelayanan terhadap masyarakat. Janji atau sumpah yang harus diucapkan ketika
seseorang diangkat sebagai pegawai negeri juga sangat condong kepada
kepentingan Pemerintah dan bukannya kepentingan pelayanan terhadap masyarakat
pengguna jasa.
3.
Fungsi
pengembangan kualitas dan penempatan pegawai negeri adalah merupakan fungsi
yang paling berorientasi kepada kepentingan Pemerintah. Dalam kurikulum dan
materi pengembangan kualitas sangat sedikit porsi pengembangan pelayanan. Dalam
latihan pra jabatan untuk calon PNS misalnya, materi yang diberikan lebih
banyak materi umum kewarganegaraan dan baris-berbaris. Bahkan dahulu dalam
latihan pra jabatan juga diajarkan cara penggunaan senjata api atau menembak.
Materi yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan sama sekali tidak
diberikan. Sebagai pembanding, ada salah satu perusahaan penyelenggara jasa
layanan yang mewajibkan calon pegawainya mengikuti pelatihan yang salah satu
materi dalam pelatihan tersebut adalah tersenyum.
4.
Fungsi
promosi penggajian dan kesejahteraan dilakukan secara baku dan kaku sehingga
tidak memungkinkan dilakukan pendekatan kontingensi. Lebih dari itu kepentingan
pengguna jasa juga tidak dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan
fungsi-fungsi tersebut. Misalnya sistem penggajian tidak dilakukan berdasarkan
prestasi tapi dilakukan atas dasar ukuran baku yang kurang mencerminkan
prestasi kerja.
5.
Fungsi
pemberhentian, sama dengan fungsi yang lainnya dimana perumusannya dilakukan
secara kaku dan tidak memberi peluang untuk dilakukannya pendekatan kontingensi
serta tidak berorientasi kepada kepentingan pengguna jasa pelayanan.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
A. Dalam teori manajemen terdapat dua pendekatan diantaranya
pendekatan yang berorientasi kontrol dengan cirinya top-down, pyramidal, hirarkhial, mekanistik dan birokratis.
Pendekatan kedua adalah pendekatan komitmen atau pendekatan berorientasi
pelibatan (involvement).
1. Pendekatan
yang berorientasi kontrol
Model ini menggunakan asumsi bahwa hubungan vertikal dan
hierarkial adalah cara yang terbaik untuk meningkatkan produktivitas dan
kualitas.
2. Pendekatan
yang berorientasi involvement
Asumsi yang dibangun dari pendekatan ini adalah pekerja
atau birokrat juga memiliki kemampuan untuk berpikir, melakukan koordinasi dan
pengawasan sebagaimana yang dapat dilakukan oleh manajer.
B.
Kebijakan Manajemen SDM
Kebijakan manajemen SDM di pegawai negeri Indonesia
diatur dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang pokok-pokok kepegawaian.
C.
Evaluasi Kebijakan Manajemen SDM
Pelayanan yang baik hanya akan dapat
diwujudkan antara lain apabila manajemen sumber daya manusia dilakukan dengan
mengedepankan kepentingan pengguna jasa, yaitu dengan menerapkan pendekatan
kontingensi dalam mengelola pegawai. Pegawai negeri sebagai penyelenggara jasa pelayanan seharusnya dikelola
dengan menggunakan pendekatan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bowen, David E & Edward E.yer III,
1995, Organizing for Service :
Empowerment or Production Line? In Glynn, William J & James G. Barnes
(ed) Understanding Services Management,
John Wiley & Sons, West Sussex, England.
Carnall, Colin A, 1999, Managing Change in Organizations (Third
Edition), Prentice Hall Europe, London.
Ratminto &
Atik Septi, 2007, Manajemen Pelayanan : Pengembangan Model Konseptual,
Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Peraturan
Perundangan
Undang-Undang Nmor 43 Tahun 1999 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok – pokok
Kepegawaian.
Lain-lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar