PEMBAHASAN
HUKUM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
A. ISTILAH KEKAYAAN INTELEKTUAL
Prof. Mahadi
ketika menulis buku tentang Hak Milik Immateril mengatakan, tidak diperoleh
keteranngan yang jelas tentang asal usul kata “hak milik intelektual”. Kata
“intelektual” yang digunakan dalam kalimat tersebut, tak diketahui ujung
pangkalnya[1].
Hak kekayaan
intelektual itu adalah hak kebendakan, hak atas sesuatu benda yang bersumber
dari hasil kerja otak[2],
hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar[3].
Hasil kerjanya itu berupa benda immaterial. Benda tidak berwujud. Kita ambil
misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan
pekerjaan otak.
Dalam
kepustakaan hukum Anglo Saxon ada dikenal sebutan Intellectual Property Rights. Kata ini kemudian diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia menjadi “Hak Milik Intelektual”, yang sebenarnya
menurut hemat penulis lebih tepat kalau diterjemahkan menjadi Hak Atas Kekayaan
Intelektual. Alasannya adalah kata “hak milik” sebenarnya sudah merupakan istilah
baku dalam kepustakaan hukum.[4]
Padahal tidak semua Hak Atas Kekayaan Intelektual itu merupakan hak milik dalam
arti sesungguhnya. Bisa merupakan hak untuk memperbanyak saja, atau untuk
menggunakannya dalam produk tertentu dan bahkan dapat pula berupa hak sewa (rental rights), atau hak-hak lain yag
timbul dari perikatan seperti lisensi, hak siaran, dan lain sebagainya.
Benda Immateril
atau yang benda tidak berwujud yang berupa hak itu dapatlah kita contohkan
seperti hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak guna bangunan, hak guna
usaha, hak atas benda berupa jaminan, Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) dan lain
sebagainya. Selanjutnya mengenai hal ini Pitlo, sebagaimana dikutip oleh Prof.
Mahadi mengatakan, serupa dengan hak tagih, hak Immateril itu tidak mempunyai
benda (berwujud) sebagai objeknya. Hak milik immateril termasuk kedalam hak-hak
yang disebut pasal 499 KUH Perdata.oleh karena itu hak milik immateril itu
sendiri dapat menjadi objek dari suatu hak benda. Selanjutnya dikatakannya pula
bahwa, hak benda objeknya bukan benda berwujud. Itulah yang disebut dengan nama
Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intellectual
Property Rights).[5]
Pengelompokan
Hak Atas Kekayaan Intelektual itu lebih lanjut dapat dikategorikan dalam kelompok
sebagai berikut:
1. Hak
Cipta (Copy Rights)
2. Hak
Milik (baca : hak kekayaan) Perindustrian (Industrial
Property Rights).[6]
Hak cipta sebenarnya
dapat lagi diklasifikasikan kedalam dua bagian, yaitu:
1. Hak
Cipta dan
2. Hak
yang berkaitan (bersempadan) dengan hak cipta (neighbouring rights).
Istilah
neightbouring rights, belum ada
terjemahan yang tepat dalam bahasa hukum Indonesia. Ada yang menerjemahkannya
denga istilah hak bertetanggaan dengan hak cipta, adapula yang menerjemahkannya
dengan istilah hak yang berkaitan atau berhubungan denan hak cipta, seperti
yang termaktub dalam BAB VA UU No. 12 Tahun 1997, atau hak terkait seperti yang
tercantum dalam BAB VII UU No. 19 Tahun 2002.
Selanjutnya
hak atas kekayaan perindustrian dapat diklasifikasikan lagi menjadi:
1. Patent
(paten)
2.
Utility
Models (model dan rancang bangun) atau dalam hukum
Indonesia, dikenal dengan istilah paten sederhana (simple patent).
3. Industrial Design
(Desain Industri)
4. Trade Merk
( Merek Dagang)
5. Trade Names
(Nama Niaga atau Nama Dagang)
Hak atas kekayaan
perindustrian itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Patent
2. Utility
Models
3. Industrial
Designs
4. Trade
Secrets
5. Trade
Marks
6. Service
Marks
7. Trade
Names or Commersial Names
8. Appelations
of Origin
9. Indications
of Origin
10. Unfair
Competition Protection.[8]
Bagan
Tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual
(Benda berwujud)
-Hak Cipta (Copy
Rights)
-Hak yang
bersempadan -Utility Models
Dengan hak cipta/hak terkait -Industrial Designs
-Trade
Secrets
-Trade
Marks
-Service
Marks
-Trade
Names or
-Commersial
Names
-Protection
-New
Varieties of
-dll.
Beberapa perangkat UU HAKI Indonesia,
yakni:
1. Hak
Cipta diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002
2. Paten
diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001
3. Merek
diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001
4. Perlindungan
Varietas Baru Tanaman diatur dalam UU No. 29 Tahun 2000
5. Rahasia
Dagang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2000
6. Design
Industri diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000, dan
7. Design
tata letak sirkuit Terpadu diatur dalam UU No. 32 Tahun 2000.
B. SISTEM DAN KEBERADAAN HAKI DALAM
KERANGKA HUKUM INDONESIA SERTA HUKUM INTERNASIONAL
1. Istilah
Sistem
Istilah sistem berasal dari bahasa
Yunani Systema. Untuk istilah itu
Shrode dan Voch mengartikannya “suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian
banyak bagian (whole compoundded of several
parts)”.[9]
Dalam tulisan ini penulis hanya
memajukan beberapa rumusan saja, yaitu sebagai berikut:
1) Sistem
yang digunakan untuk menunjuk suatu kumpulan atau himpunan benda-benda yang
disatukan atau dipadukan oleh suatu bentuk yang saling berhubungan atau saling
ketergantungan yang teratur; sesuatu himpunan bagian-bagian yang tergabungkan
secara alamiah maupun oleh budidaya manusia sehingga menjadi suatu kesatuan
yang bulat dan terpadu; suatu keseluruhan yang terorganisasikan atau sesuatu
yang organik; atau juga yang berfungsi, bekerja atau bergerak secara serentak
bersama-sama, bahkan sering bergeraknya itu mengikuti suatu kontrol tertentu,
sistem tata surya, ekosistem, merupakan contohnya.
2) Sistem
yang menunjuk sehimpunan gagasan (ide) yang tersusun, terorganisasikan, suatu
himpunan gagasan, prinsip, doktrin, hukum dan sebagainya yang dibentuk oleh
satu kesatuan yang logik dan dikenal sebagai isi buah pikiran filsafat
tertentu, agama, atau bentuk pemerintahan tertentu. Sistem teologi Agustinus,
sistem sistem pemerintahan demokratis, sistem masyarakat Islam, merupakan
contoh-contohnya.
3) Sistem
yang digunakan untuk menunjuk pengertian skema atau metode pengaturan
organisasi atau metode tata cara. Dapat juga dalam arti suatu bentuk atau pola
pengaturan pelaksanaan atau pemrosesan dan juga dalam pengertian metode
pengelompokan, pengkodifikasian, dan sebagainya. Misalnya saja sistem
pengelompokan bahan pustaka menurut Dewey
(Dewey Decimal Clasification).[10]
2. HAKI
Dalam Kerangka Hukum Nasional
Hal lain lagi yang perlu dikaji melalui
pendekatan sistem ini adalah aspek budaya hukum (Culture of law), khusus mengenai perlindungan Hak Atas Kekayaan
Intelektual, dalam bidang hak cipta iklim budaya Indonesia telah menawarkan
suatu yang berbeda dengan budaya hukum “Barat”. Para pencipta Indonesia sangat “berbesar
hati” bila ciptaannya diperbanyak atau diumumkan oleh orang lain. Para pelukis,
pemahat dan pematung di Bali sangat gembira, apabila karya ciptanya ditiru orag
lain.
Begitu pula jika ada kunjunga pejabat
luar negeri ke pabrik atau ke berbagai pusat industri di Indonesia, biasanya
para pejabat kita dengan senang hati memperkenalkan temuan dan hasil temuan
kita kepada “publik luar” tersebut. Memberikan penjelasan, memperkenankan untuk
menggunakan tustel atau kamera video, bahkan sampai kepada bagian-bagian yang
spesifik yang di dunia Barat termasuk dalam Trade
Secrets atau Undisclosed Information.
Dunia Barat telah lama memperkenalkan sistem perlindungan yang demikian,
sehingga jika kita berkunjung ke suatu pabrik atau pusat industri mereka akan
membatasi aktivitas kita, misalnya larangan mempergunakan tustel, camera vidoe,
dan lain-lain.
Terlepas dari itu semua, kiranya
Indonesia sudah saatnya pula, mencermati kembali segi-segi yang berkaitan
dengan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini dalam satu kerangka
sistem.[11]
3. HAKI
Dalam Kerangka Hukum Internasional
Dalam kerangka pembahasan mengenai Hak
Kekayaan Intelektual, maka dari segi substansif, norma hukum yang mengatur
tentang hak kekayaan intelektual itu tidak hanya terbatas pada norma hukum yang
dikeluarkan oleh satu negara tertentu, tetapi juga terikat pada norma-norma
hukum Internasional. Di sini kita lihat hakikat hidupnya sistem hukum itu. Ia
tumbuh dan berkembang sejalan dengan tuntunan masyarakat, dalam bidang intellectual property rights didasarkan
pada tuntunan perkembangan peradaban dunia.
Oleh karena itu, negara-negara yang
turut dalam kesepakata internasional, harus menyesuaikan peraturan dalam
negerinya dengan ketentuan internasional, yang dalam kerangka GATT/WTO (1994)
adalah kesepakatan TRIPs, sebagai salah satu dari Final Embodying The Uruguay of Multilateral Trade Negotiation, yang
ditandatangani di Marakesh, pada bulan
April oleh 124 negara dan 1 wakil dari Masyarakat Ekonomi Eropa. Indonesia
termasuk salah satu negara yang turut menandatangani kesepakatan itu dan
ratifikasinya telah dilakukan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.
Akibatnya Indonesia tidak dapat dan
tidak diperkenankan membuat peratutan yang extra-teritirial
yang mennyangkut tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, dan semua isu
yang terdapat dalam kerangka WTO Indonesia harus mengakomodirnya paling tidak
harus memenuhi (pengaturan) standard
minimum. Dengan demikian Indonesia harus menyesuaikan kembali semua peraturan
yang berkaitan dengan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan menambah
beberapa peraturan yang belum tercakup
dalam peraturan yang sudah ada.[12]
C. HAKI DAN TANTANGAN GLOBALISASI
1) WTO
Sebagai Kerangka Hukum
WTO merupakan kerangka hukum sebagai
kesepakatan internasional dan dijadikan sebagai acuan dalam setiaptindakan para
pelaku bisnis dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan HAKI
dan penanaman Modal Asing disamping hal-hal lain yang berkaitan dengan
transaksi perdagangan internasional.[13]
Indonesia merupakan bagian dari
masyarakat internasional yang turut meratifikasi kesepakatan WTO, dengan
sendirinya tunduk pada aturan perdagangan yang dimuat dalam kesepakatan
tersebut. Untuk itu Indonesia tanpa tawar menawar, harus menyesuaikan paraturan
perundang-undangannya, dengan kerangka WTO, khususnya dalam kaitannya dengan
bidang yang diatur dalam WTO tersebut dimana HAKI termasuk didalamnya.
Khusus mengenai perlindungan terhadap
Hak Kekayaan Intelektual, Indonnesia telah memiliki perankat perundang-undangan
yang ebagian besar telah merujuk pada
persetujuan TRIPs.
Menarik untuk disimak, ungkapan pakar
ekonomi Rizal Ramli[14]
yang mengatakan, bahwa pemerintah Indonesia belum punya konsep untuk menghadapi
perdagangan bebas.
2) Landasan
Konsepsional Mengenai HAKI
Dibalik sistem perlindungan terhadap Hak
Atas Kekayaan Intelektual ada serangkai pemikiran konsepsional yang dapat
diuraikan dibawah. Pemilik Hak Atas Kekayaan Intelektual telah mencurahkan
karya pikiran, tenaga dan dana untuk memperoleh kekayaan tersebut. Apabila
kekayaan tersebut digunakan untuk keperluan komersial maka dianggap wajah bahwa
pemilik HAKI tersebut mmemperoleh kompensasi atas penggunaan kekayaan tersebut.
Secara simplistis, pertama, bentuk penggunaan
komersial dari Kekayaan Intelektual dapat dilakukan langsung oleh pemilik
kekayaan tersebut. Dengan demikian maka pihak pemilik dapat secara langsung
memperoleh kompensasi finansial akibat transaksi yang menyangkut penggunaan
kekayaan intelektual tersebut. Kedua,
pemilik dapat menjual atau memperoleh kompensasi finansial dengan membolehkan
penggunaan hak atas kekayaan tersebut
kepada pihak lain. Ketiga, pemilik
hak atas kekayaan tersebut dapat mencegah pihak lain memperoleh dan
mempergunakannya.
3) Persetujuan
TRIPs Hasil Akhir Perundingan
Pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, perjanjian hasil perundingan
Putaran Uruguay sebagai suatu paket persetujuan ditandatangani oleh para
menteri negara-negara peserta. Setelah itu masih ada lagi kewajiban pemerintah
masing-masing negara peserta yakni melaksanakan prosedur konstitusional yang
berlaku untuk meratifikasi sekaligus sebagai pengesahan keikutsertaan mereka
dalam persetjuan internasional tersebut.
Dalam penerapan persetujuan TRIPs selain
mengacu pada standar normatif yang jelas ditentukan; juga diharuskan
negara-negara anggota untuk menerapkan prinsip-prinsip GATT. Ada tiga prinsip
GATT yang menjadi dasar penerapan persetujuan itu yakni: pertama, prinsip national
treatment, yakni pemilik HAKI asing harus diberi perlindungan yang sama
dengan warga negara dari negara yang bersangkutan. Kedua,prinsip most favoured
nation (MFN) atau nondiskriminasi atas pemilik HAKI asing dengan pemilik
HAKI dari negara yang bersangkutan atau negara lain. Tidak boleh ada perlakuan
kepada pihak asing yang berasal dari satu negara yang lebih baik dari pada
perlakuan terhadap pihak asing dari negara lain. Ketiga,
aspek transparansi, yang juga merupakan salah satu prinsip utama GATT akan
memaksakan negara anggota untuk lebih terbuka dalam ketentuan
perundang-undangan dan pelaksanaan aturan nasional dalam bidang perlindungan
Hak Atas Kekayaan Intelektual.
4) Penerapan
Aturan
Persetujuan juga menetukan prosedur
yudisial (civil judical measure and
remedies)termasuk langkah yudisial yang bersifat sementara untuk mencegah
terjadinya pelanggaran HAKI serta prosedur untuk memperoleh bantuan dari
lembaga pabean guna mencegah terjadinya impor barang palsu. Dalam hal yang
menyangkut penggunaan merek dagang oleh pihak lain dan kegiatan pemalsuan
maupun pembajakan dalam skala komersial yang cukup besar, negara anggota
diminta menerapakan prosedur kriminal termasuk sanksi dalam bentuk hukuman
penjara dan denda yang cukup memadai agar menjadi penangkal terhadap kegiatan
tersebut. Dalam beberapa ketentuan pidana mengenai perlindungan HAKI kecuali
hak cipta, undang-undang Indonesia menempatkan delik pelanggarannya sebagai
delik aduan, buka delik biasa.
Persetujuan tidak mengakui adanya
perbedaan sistem hukum yang berlaku di negara anggota ataupun perbedaan dalam
kemampuan administrasi dan kemampuan anggaran antara negara maju dan negara
berkembang. Jadi disini tida ada prioritas, diskriminatif aturan, semuanya
dipandang sama. Meskipun hal ini bagi negara berkembang akan menghadapi beban
untuk memenuhi prosedur-prosedur administratif yang rini tersebut. Bagi negara
berkembang kewajiban dalam persatuan terebut merupakan beban karena mereka
terpaksa harus mengalihkan sumber dana dan sumber daya manusia untuk menata
tata tertib administrasi HAKI sehingga mengurangi porsi dana untuk pembangunan
pada sektor lain.
5) Intisari
Persetujuan TRIPs dan Dampaknya Bagi Indonesia
Bagi negara berkembang, adanya kewajiban
dalam melindungi HAKI merupakan suatu cost
yang harus dipikuli sebagai imbalan untuk mencapai perjanjian yang antara lain
memberikan akses kepasar yang lebih luas dan merumuskan aturan main yang lebih
jelas sehingga membatasi indakan unilateral yang dapat diambil oleh negara
maju.
Biaya tambahan memag tidak dapat
dielakkan, manakala kita ingin memulai untuk masuk ke alam pikiran negara maju.
Akan tetapi untuk kepentingan jangka panjang, itu harus dilakukan Indonesia mengingat
penanaman modal asing yang mengandung teknologi tinggi hanya dapat dinikmati
bila kita melindungi hak-hak pemilik modal. Para investor akan enggan
menerapkan teknologinya di Indonesia apabila tidak ada perlindungan terhadap
hak atas teknologi tersebut.
Bagi negara seperti Indonesia, beban
tersebut terutama terpusat pada masalah enforcement
atau penerapan kewajiban yang telah disepakati. Karena dari itu semula
Indonesia menganggap bahwa periode transisi 5 tahun untuk menerapkan semua
mekanisme HAKI terlalu singkat. Namun dilihat dari segi kepentingan jangka
panjang bila investasi asing semakin diperlukan dan investor asing semakin
menghendaki adanya perlindungan HAKI yang efektif, maka cepat atau lambat
Indonesia harus turut dengan trend yang ada di dunia.
WTO, diterma Indonesia sebagai aturan
pokok pembentukan organisasi perdagangan dunia. WTO adalah merupakan konvensi
internasional yang bersifa multilateral dalam tatanan perundang-undangan
Indonesia dan telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1994.
Selain memuat kesepakatan pemotongan
tarif bea cukai dan penghapusan berbagai hambatan perdagangan, juga
memberlakukan aturan main untuk beberapa isu baru yang mempunyai implikasi
yuridis bagi negara-negara di dunia khususnya negar-negara lemah seperti isu
tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.[15]
Isu tentang perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual ini merupakan Mas’oed[16]
pada dasarnya bukan merupakan liberalisasi, tetapi berupa perlindungan. Namun
tetap mempunyai implikasi liberalisasi, sebab dengan perlindunga itu,
liberalisasi perdagangan dunia diharapkan berjaalan mulus.
DAFTAR
PUSTAKA
Mahadi,Hak Milik Immaterial,BPHN,Jakarta,1985
Saidin,
OK.,aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,Rajawali
Pers, Jakarta, 1995
[1] Mahadi, Hak Milik Immateril, BPHN-Bina Cipta, Jakarta, 1985 hlm. 4.
[2] Otak yang dimaksudkan bukanlah
otak yang kita lihat seperti tumpukan daging yang enak digulai, yang beratnya
2% dari total berat tubuh, tetapi otak yang berperan sebagai pusat pengaturan
segala kegiatan fisik dan psikologis, yang terbagi menjadi dua belahan; kiri
dan kanan.
[3] Kata “menalar” ini penting,
sebab menurut penelitian pakar antropologi fisik di Jepang, seekor monyet juga
berfikir, tetapi pikirannya tidak menalar. Ia tidak dapat menghubungkan satu
peristiwa dengan peristiwa lainnya.
[4] Perdebatan seru tentang istilah
ini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Ada yang setuju dengan istilah hak
milik intelektual, ada yag bertahan untuk menggunakan istilah hak kekayaan
intelektual, tapi memang akhirnya oleh Bambang Kesowo Ketua Tim yang membidangi
masalah hukum HAKI, memveto lalu agar menggunakan istilah Hak Kekayaan
Intelektual. Singkatannya pun bermacam-macam pula ada HAKI, ada HaKI, ada HKI.
Rumusan baku tentang Hak Milik itu misalnya dapat kita lihat dalam pasal 570
KUHPerdata dalam pasal 20 UUPA No. 5 Tahun 1960, tentang Hak Milik Atas Tanah.
[5] Mahadi, Hak Milik Immateril, op.cit.,
hlm. 5-6
[6] Redaksi, Indonesia Perlu
Perhatikan Hak Milik Intelektual, kompas, Jakarta, 19 Februari 1986, hlm. 1.
[7] Convention Establishing The Word
Intellectual Property Organization (WIPO).
[8][8] William T. Frayer, Materi
ceramah pada Intellectual Property
Theaching of Tracher’s Program Conducted The Faculty of Law, University of
Indonesia, yang disponsori oleh Kantor Sekretariat Negara RI dan United Nations Development Programe/Word
Intellectual Property Organization, Jakarta, 15 Juli s/d 2 Agustus 1996.
[9] Shrode, William A; Voich, Jr, Organization and Management; Basic System
Concepta, Irwin Book Co, Malaysia, 1974, hlm. 115.
[10] Mahadi, Loc. Cit.
[11] Dalam sistem sosial yang lebih
luas, hukum hanyalah merupaka subsistem yang berada bersama-sama dengan
subsistem sosal lainnya. Oleh karena itu, pengaruh subsistem politik, ekonomi
dan komponen sistem sosial lainnya mestinya sudah harus diperimbangkan dalam
proses pembangunan hukum, apakah itu menyangkut segi substansi, structure dan culture, demikian pula dalam
penerapannya.
[12] Hal itu telah dilakukan oleh
pemerintah dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundang-undangan
nasionalnya yang mencakup perlindungan HAKI ditambah dengan ratifikasi beberapa
konvensi dan traktat internasional. Hanya saja sampai saat ini revisi UU Hak
Cipta masih terus didiskusikan dalam rapat-rapat DPR-RI dan tak kunjung rampung.
[13] Terdapat isu penting yang
disepakati dalam WTO
[14] Rizal
Ramli, Pemerintah Belum Punya Konsep, Republika,
Jakarta, 10 April 1996, hlm. 1.
[15] Mohtar
Mas’oed, Op.Cit, hlm. 26.
[16] Ibid,
hlm. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar