Senin, 10 Desember 2012

HUKUM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL MAKALAH



PEMBAHASAN

HUKUM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL


A.    ISTILAH KEKAYAAN INTELEKTUAL


Prof. Mahadi ketika menulis buku tentang Hak Milik Immateril mengatakan, tidak diperoleh keteranngan yang jelas tentang asal usul kata “hak milik intelektual”. Kata “intelektual” yang digunakan dalam kalimat tersebut, tak diketahui ujung pangkalnya[1].
Hak kekayaan intelektual itu adalah hak kebendakan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak[2], hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar[3]. Hasil kerjanya itu berupa benda immaterial. Benda tidak berwujud. Kita ambil misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan pekerjaan otak.
Dalam kepustakaan hukum Anglo Saxon ada dikenal sebutan Intellectual Property Rights. Kata ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi “Hak Milik Intelektual”, yang sebenarnya menurut hemat penulis lebih tepat kalau diterjemahkan menjadi Hak Atas Kekayaan Intelektual. Alasannya adalah kata “hak milik” sebenarnya sudah merupakan istilah baku dalam kepustakaan hukum.[4] Padahal tidak semua Hak Atas Kekayaan Intelektual itu merupakan hak milik dalam arti sesungguhnya. Bisa merupakan hak untuk memperbanyak saja, atau untuk menggunakannya dalam produk tertentu dan bahkan dapat pula berupa hak sewa (rental rights), atau hak-hak lain yag timbul dari perikatan seperti lisensi, hak siaran, dan lain sebagainya.
Benda Immateril atau yang benda tidak berwujud yang berupa hak itu dapatlah kita contohkan seperti hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak atas benda berupa jaminan, Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) dan lain sebagainya. Selanjutnya mengenai hal ini Pitlo, sebagaimana dikutip oleh Prof. Mahadi mengatakan, serupa dengan hak tagih, hak Immateril itu tidak mempunyai benda (berwujud) sebagai objeknya. Hak milik immateril termasuk kedalam hak-hak yang disebut pasal 499 KUH Perdata.oleh karena itu hak milik immateril itu sendiri dapat menjadi objek dari suatu hak benda. Selanjutnya dikatakannya pula bahwa, hak benda objeknya bukan benda berwujud. Itulah yang disebut dengan nama Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights).[5]
Pengelompokan Hak Atas Kekayaan Intelektual itu lebih lanjut dapat dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut:
1.      Hak Cipta (Copy Rights)
2.      Hak Milik (baca : hak kekayaan) Perindustrian (Industrial Property Rights).[6]
Hak cipta sebenarnya dapat lagi diklasifikasikan kedalam dua bagian, yaitu:
1.      Hak Cipta dan
2.      Hak yang berkaitan (bersempadan) dengan hak cipta (neighbouring rights).
Istilah neightbouring rights, belum ada terjemahan yang tepat dalam bahasa hukum Indonesia. Ada yang menerjemahkannya denga istilah hak bertetanggaan dengan hak cipta, adapula yang menerjemahkannya dengan istilah hak yang berkaitan atau berhubungan denan hak cipta, seperti yang termaktub dalam BAB VA UU No. 12 Tahun 1997, atau hak terkait seperti yang tercantum dalam BAB VII UU No. 19 Tahun 2002.
Selanjutnya hak atas kekayaan perindustrian dapat diklasifikasikan lagi menjadi:
1.      Patent (paten)
2.      Utility Models (model dan rancang bangun) atau dalam hukum Indonesia, dikenal dengan istilah paten sederhana (simple patent).
3.      Industrial Design (Desain Industri)
4.      Trade Merk ( Merek Dagang)
5.      Trade Names (Nama Niaga atau Nama Dagang)
6.      Indication of Source or Appelation of Origin (sumber tanda atau sebutan asal)[7]
Hak atas kekayaan perindustrian itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.      Patent
2.      Utility Models
3.      Industrial Designs
4.      Trade Secrets
5.      Trade Marks
6.      Service Marks
7.      Trade Names or Commersial Names
8.      Appelations of Origin
9.      Indications of Origin
10.  Unfair Competition Protection.[8]


Bagan Tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual
Benda

Material                       Immaterial (Benda tidak berwujud)
(Benda berwujud)
Hak Atas Kekayaan Intelektual

     Hak Cipta                           Hak Atas Kekayaan Perindustrian
-Hak Cipta (Copy Rights)                  
                                                                        -Patent
-Hak yang bersempadan                     -Utility Models
 Dengan hak cipta/hak terkait             -Industrial Designs
                                                            -Trade Secrets
                                                            -Trade Marks
                                                            -Service Marks
                                                            -Trade Names or
                                                            -Commersial Names
                                                            -Protection
                                                            -New Varieties of
                                                            -dll.
Beberapa perangkat UU HAKI Indonesia, yakni:
1.      Hak Cipta diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002
2.      Paten diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001
3.      Merek diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001
4.      Perlindungan Varietas Baru Tanaman diatur dalam UU No. 29 Tahun 2000
5.      Rahasia Dagang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2000
6.      Design Industri diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000, dan
7.      Design tata letak sirkuit Terpadu diatur dalam UU No. 32 Tahun 2000.

B.     SISTEM DAN KEBERADAAN HAKI DALAM KERANGKA HUKUM INDONESIA SERTA HUKUM INTERNASIONAL

1.      Istilah Sistem
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani Systema. Untuk istilah itu Shrode dan Voch mengartikannya “suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compoundded of several parts)”.[9]
Dalam tulisan ini penulis hanya memajukan beberapa rumusan saja, yaitu sebagai berikut:
1)      Sistem yang digunakan untuk menunjuk suatu kumpulan atau himpunan benda-benda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu bentuk yang saling berhubungan atau saling ketergantungan yang teratur; sesuatu himpunan bagian-bagian yang tergabungkan secara alamiah maupun oleh budidaya manusia sehingga menjadi suatu kesatuan yang bulat dan terpadu; suatu keseluruhan yang terorganisasikan atau sesuatu yang organik; atau juga yang berfungsi, bekerja atau bergerak secara serentak bersama-sama, bahkan sering bergeraknya itu mengikuti suatu kontrol tertentu, sistem tata surya, ekosistem, merupakan contohnya.
2)      Sistem yang menunjuk sehimpunan gagasan (ide) yang tersusun, terorganisasikan, suatu himpunan gagasan, prinsip, doktrin, hukum dan sebagainya yang dibentuk oleh satu kesatuan yang logik dan dikenal sebagai isi buah pikiran filsafat tertentu, agama, atau bentuk pemerintahan tertentu. Sistem teologi Agustinus, sistem sistem pemerintahan demokratis, sistem masyarakat Islam, merupakan contoh-contohnya.
3)      Sistem yang digunakan untuk menunjuk pengertian skema atau metode pengaturan organisasi atau metode tata cara. Dapat juga dalam arti suatu bentuk atau pola pengaturan pelaksanaan atau pemrosesan dan juga dalam pengertian metode pengelompokan, pengkodifikasian, dan sebagainya. Misalnya saja sistem pengelompokan bahan pustaka menurut Dewey (Dewey Decimal Clasification).[10]

2.      HAKI Dalam Kerangka Hukum Nasional
Hal lain lagi yang perlu dikaji melalui pendekatan sistem ini adalah aspek budaya hukum (Culture of law), khusus mengenai perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual, dalam bidang hak cipta iklim budaya Indonesia telah menawarkan suatu yang berbeda dengan budaya hukum “Barat”. Para pencipta Indonesia sangat “berbesar hati” bila ciptaannya diperbanyak atau diumumkan oleh orang lain. Para pelukis, pemahat dan pematung di Bali sangat gembira, apabila karya ciptanya ditiru orag lain.
Begitu pula jika ada kunjunga pejabat luar negeri ke pabrik atau ke berbagai pusat industri di Indonesia, biasanya para pejabat kita dengan senang hati memperkenalkan temuan dan hasil temuan kita kepada “publik luar” tersebut. Memberikan penjelasan, memperkenankan untuk menggunakan tustel atau kamera video, bahkan sampai kepada bagian-bagian yang spesifik yang di dunia Barat termasuk dalam Trade Secrets atau Undisclosed Information. Dunia Barat telah lama memperkenalkan sistem perlindungan yang demikian, sehingga jika kita berkunjung ke suatu pabrik atau pusat industri mereka akan membatasi aktivitas kita, misalnya larangan mempergunakan tustel, camera vidoe, dan lain-lain.
Terlepas dari itu semua, kiranya Indonesia sudah saatnya pula, mencermati kembali segi-segi yang berkaitan dengan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini dalam satu kerangka sistem.[11]

3.      HAKI Dalam Kerangka Hukum Internasional
Dalam kerangka pembahasan mengenai Hak Kekayaan Intelektual, maka dari segi substansif, norma hukum yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual itu tidak hanya terbatas pada norma hukum yang dikeluarkan oleh satu negara tertentu, tetapi juga terikat pada norma-norma hukum Internasional. Di sini kita lihat hakikat hidupnya sistem hukum itu. Ia tumbuh dan berkembang sejalan dengan tuntunan masyarakat, dalam bidang intellectual property rights didasarkan pada tuntunan perkembangan peradaban dunia.
Oleh karena itu, negara-negara yang turut dalam kesepakata internasional, harus menyesuaikan peraturan dalam negerinya dengan ketentuan internasional, yang dalam kerangka GATT/WTO (1994) adalah kesepakatan TRIPs, sebagai salah satu dari Final Embodying The Uruguay of Multilateral Trade Negotiation, yang ditandatangani di Marakesh, pada  bulan April oleh 124 negara dan 1 wakil dari Masyarakat Ekonomi Eropa. Indonesia termasuk salah satu negara yang turut menandatangani kesepakatan itu dan ratifikasinya telah dilakukan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.
Akibatnya Indonesia tidak dapat dan tidak diperkenankan membuat peratutan yang extra-teritirial yang mennyangkut tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, dan semua isu yang terdapat dalam kerangka WTO Indonesia harus mengakomodirnya paling tidak harus memenuhi (pengaturan) standard minimum. Dengan demikian Indonesia harus menyesuaikan kembali semua peraturan yang berkaitan dengan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan menambah beberapa peraturan yang  belum tercakup dalam peraturan yang sudah ada.[12]

C.     HAKI DAN TANTANGAN GLOBALISASI

1)      WTO Sebagai Kerangka Hukum
WTO merupakan kerangka hukum sebagai kesepakatan internasional dan dijadikan sebagai acuan dalam setiaptindakan para pelaku bisnis dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan HAKI dan penanaman Modal Asing disamping hal-hal lain yang berkaitan dengan transaksi perdagangan internasional.[13]
Indonesia merupakan bagian dari masyarakat internasional yang turut meratifikasi kesepakatan WTO, dengan sendirinya tunduk pada aturan perdagangan yang dimuat dalam kesepakatan tersebut. Untuk itu Indonesia tanpa tawar menawar, harus menyesuaikan paraturan perundang-undangannya, dengan kerangka WTO, khususnya dalam kaitannya dengan bidang yang diatur dalam WTO tersebut dimana HAKI termasuk didalamnya.
Khusus mengenai perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual, Indonnesia telah memiliki perankat perundang-undangan yang ebagian besar telah  merujuk pada persetujuan TRIPs.
Menarik untuk disimak, ungkapan pakar ekonomi Rizal Ramli[14] yang mengatakan, bahwa pemerintah Indonesia belum punya konsep untuk menghadapi perdagangan bebas.
2)      Landasan Konsepsional Mengenai HAKI
Dibalik sistem perlindungan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual ada serangkai pemikiran konsepsional yang dapat diuraikan dibawah. Pemilik Hak Atas Kekayaan Intelektual telah mencurahkan karya pikiran, tenaga dan dana untuk memperoleh kekayaan tersebut. Apabila kekayaan tersebut digunakan untuk keperluan komersial maka dianggap wajah bahwa pemilik HAKI tersebut mmemperoleh kompensasi atas penggunaan kekayaan tersebut.
Secara simplistis,  pertama, bentuk penggunaan komersial dari Kekayaan Intelektual dapat dilakukan langsung oleh pemilik kekayaan tersebut. Dengan demikian maka pihak pemilik dapat secara langsung memperoleh kompensasi finansial akibat transaksi yang menyangkut penggunaan kekayaan intelektual tersebut. Kedua, pemilik dapat menjual atau memperoleh kompensasi finansial dengan membolehkan penggunaan hak atas  kekayaan tersebut kepada pihak lain. Ketiga, pemilik hak atas kekayaan tersebut dapat mencegah pihak lain memperoleh dan mempergunakannya.
3)      Persetujuan TRIPs Hasil Akhir Perundingan
Pada tanggal 15 April 1994  di Marrakesh, perjanjian hasil perundingan Putaran Uruguay sebagai suatu paket persetujuan ditandatangani oleh para menteri negara-negara peserta. Setelah itu masih ada lagi kewajiban pemerintah masing-masing negara peserta yakni melaksanakan prosedur konstitusional yang berlaku untuk meratifikasi sekaligus sebagai pengesahan keikutsertaan mereka dalam persetjuan internasional tersebut.
Dalam penerapan persetujuan TRIPs selain mengacu pada standar normatif yang jelas ditentukan; juga diharuskan negara-negara anggota untuk menerapkan prinsip-prinsip GATT. Ada tiga prinsip GATT yang menjadi dasar penerapan persetujuan itu yakni: pertama, prinsip national treatment, yakni pemilik HAKI asing harus diberi perlindungan yang sama dengan warga negara dari negara yang bersangkutan. Kedua,prinsip most favoured nation (MFN) atau nondiskriminasi atas pemilik HAKI asing dengan pemilik HAKI dari negara yang bersangkutan atau negara lain. Tidak boleh ada perlakuan kepada pihak asing yang berasal dari satu negara yang lebih baik dari pada perlakuan terhadap pihak asing dari negara lain.  Ketiga, aspek transparansi, yang juga merupakan salah satu prinsip utama GATT akan memaksakan negara anggota untuk lebih terbuka dalam ketentuan perundang-undangan dan pelaksanaan aturan nasional dalam bidang perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual.
4)      Penerapan Aturan
Persetujuan juga menetukan prosedur yudisial (civil judical measure and remedies)termasuk langkah yudisial yang bersifat sementara untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAKI serta prosedur untuk memperoleh bantuan dari lembaga pabean guna mencegah terjadinya impor barang palsu. Dalam hal yang menyangkut penggunaan merek dagang oleh pihak lain dan kegiatan pemalsuan maupun pembajakan dalam skala komersial yang cukup besar, negara anggota diminta menerapakan prosedur kriminal termasuk sanksi dalam bentuk hukuman penjara dan denda yang cukup memadai agar menjadi penangkal terhadap kegiatan tersebut. Dalam beberapa ketentuan pidana mengenai perlindungan HAKI kecuali hak cipta, undang-undang Indonesia menempatkan delik pelanggarannya sebagai delik aduan, buka delik biasa.
Persetujuan tidak mengakui adanya perbedaan sistem hukum yang berlaku di negara anggota ataupun perbedaan dalam kemampuan administrasi dan kemampuan anggaran antara negara maju dan negara berkembang. Jadi disini tida ada prioritas, diskriminatif aturan, semuanya dipandang sama. Meskipun hal ini bagi negara berkembang akan menghadapi beban untuk memenuhi prosedur-prosedur administratif yang rini tersebut. Bagi negara berkembang kewajiban dalam persatuan terebut merupakan beban karena mereka terpaksa harus mengalihkan sumber dana dan sumber daya manusia untuk menata tata tertib administrasi HAKI sehingga mengurangi porsi dana untuk pembangunan pada sektor lain.
5)      Intisari Persetujuan TRIPs dan Dampaknya Bagi Indonesia
Bagi negara berkembang, adanya kewajiban dalam melindungi HAKI merupakan suatu cost yang harus dipikuli sebagai imbalan untuk mencapai perjanjian yang antara lain memberikan akses kepasar yang lebih luas dan merumuskan aturan main yang lebih jelas sehingga membatasi indakan unilateral yang dapat diambil oleh negara maju.
Biaya tambahan memag tidak dapat dielakkan, manakala kita ingin memulai untuk masuk ke alam pikiran negara maju. Akan tetapi untuk kepentingan jangka panjang, itu harus dilakukan Indonesia mengingat penanaman modal asing yang mengandung teknologi tinggi hanya dapat dinikmati bila kita melindungi hak-hak pemilik modal. Para investor akan enggan menerapkan teknologinya di Indonesia apabila tidak ada perlindungan terhadap hak atas teknologi tersebut.
Bagi negara seperti Indonesia, beban tersebut terutama terpusat pada masalah enforcement atau penerapan kewajiban yang telah disepakati. Karena dari itu semula Indonesia menganggap bahwa periode transisi 5 tahun untuk menerapkan semua mekanisme HAKI terlalu singkat. Namun dilihat dari segi kepentingan jangka panjang bila investasi asing semakin diperlukan dan investor asing semakin menghendaki adanya perlindungan HAKI yang efektif, maka cepat atau lambat Indonesia harus turut dengan trend yang ada di dunia.
WTO, diterma Indonesia sebagai aturan pokok pembentukan organisasi perdagangan dunia. WTO adalah merupakan konvensi internasional yang bersifa multilateral dalam tatanan perundang-undangan Indonesia dan telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1994.
Selain memuat kesepakatan pemotongan tarif bea cukai dan penghapusan berbagai hambatan perdagangan, juga memberlakukan aturan main untuk beberapa isu baru yang mempunyai implikasi yuridis bagi negara-negara di dunia khususnya negar-negara lemah seperti isu tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.[15]
Isu tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual ini merupakan Mas’oed[16] pada dasarnya bukan merupakan liberalisasi, tetapi berupa perlindungan. Namun tetap mempunyai implikasi liberalisasi, sebab dengan perlindunga itu, liberalisasi perdagangan dunia diharapkan berjaalan mulus.








DAFTAR PUSTAKA

Mahadi,Hak Milik Immaterial,BPHN,Jakarta,1985
Saidin, OK.,aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,Rajawali Pers, Jakarta, 1995


[1] Mahadi, Hak Milik Immateril, BPHN-Bina Cipta, Jakarta, 1985 hlm. 4.
[2] Otak yang dimaksudkan bukanlah otak yang kita lihat seperti tumpukan daging yang enak digulai, yang beratnya 2% dari total berat tubuh, tetapi otak yang berperan sebagai pusat pengaturan segala kegiatan fisik dan psikologis, yang terbagi menjadi dua belahan; kiri dan kanan.
[3] Kata “menalar” ini penting, sebab menurut penelitian pakar antropologi fisik di Jepang, seekor monyet juga berfikir, tetapi pikirannya tidak menalar. Ia tidak dapat menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.
[4] Perdebatan seru tentang istilah ini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Ada yang setuju dengan istilah hak milik intelektual, ada yag bertahan untuk menggunakan istilah hak kekayaan intelektual, tapi memang akhirnya oleh Bambang Kesowo Ketua Tim yang membidangi masalah hukum HAKI, memveto lalu agar menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual. Singkatannya pun bermacam-macam pula ada HAKI, ada HaKI, ada HKI. Rumusan baku tentang Hak Milik itu misalnya dapat kita lihat dalam pasal 570 KUHPerdata dalam pasal 20 UUPA No. 5 Tahun 1960, tentang Hak Milik Atas Tanah.
[5] Mahadi, Hak Milik Immateril, op.cit., hlm. 5-6
[6] Redaksi, Indonesia Perlu Perhatikan Hak Milik Intelektual, kompas, Jakarta, 19 Februari 1986, hlm. 1.
[7] Convention Establishing The Word Intellectual Property Organization (WIPO).
[8][8] William T. Frayer, Materi ceramah pada Intellectual Property Theaching of Tracher’s Program Conducted The Faculty of Law, University of Indonesia, yang disponsori oleh Kantor Sekretariat Negara RI dan United Nations Development Programe/Word Intellectual Property Organization, Jakarta, 15 Juli s/d 2 Agustus 1996.
[9] Shrode, William A; Voich, Jr, Organization and Management; Basic System Concepta, Irwin Book Co, Malaysia, 1974, hlm. 115.
[10] Mahadi, Loc. Cit.
[11] Dalam sistem sosial yang lebih luas, hukum hanyalah merupaka subsistem yang berada bersama-sama dengan subsistem sosal lainnya. Oleh karena itu, pengaruh subsistem politik, ekonomi dan komponen sistem sosial lainnya mestinya sudah harus diperimbangkan dalam proses pembangunan hukum, apakah itu menyangkut segi substansi, structure dan culture, demikian pula dalam penerapannya.
[12] Hal itu telah dilakukan oleh pemerintah dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundang-undangan nasionalnya yang mencakup perlindungan HAKI ditambah dengan ratifikasi beberapa konvensi dan traktat internasional. Hanya saja sampai saat ini revisi UU Hak Cipta masih terus didiskusikan dalam rapat-rapat DPR-RI dan tak kunjung rampung.
[13] Terdapat isu penting yang disepakati dalam WTO
[14] Rizal Ramli, Pemerintah Belum Punya Konsep, Republika, Jakarta, 10 April 1996, hlm. 1.
[15] Mohtar Mas’oed, Op.Cit, hlm. 26.
[16] Ibid, hlm. 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar