2.1. pengertian
hukum laut
•hukum laut menurut dr. wirjono prodjodikoro SH aialah
meliputi segala peraturan hokum yang ada hubungan dengan laut.
• Hukum laut menurut Mr. w. L. P. A molengraaff, Mr. H. F. A
vollmar dan Mr. F.G scheltema adalah peraturan-peraturan hokum yang ada
hubungannya dengan pelayaran kapal di laut dan keistimewa mengenai pengangkutan
orang atau barang dengan kapal laut.
2.2. Sejarah hukum
laut secara nasional
Negara
Indonesia merupakan salah satu anggota pada konferensi kodifikasi yang
diselenggarakan oleh volkenbond dalam tahun 1930 di den Haag ternyata bahwa
dari 37 negara peserta hanya terdapat 9 negara yang mempertahankan 3 mil limit
sedangkan sebagian besar Negara peserta menggangap 3 mil itu tidak cukup lebar
kegagalan untuk mencapai kata sepakat tentang lebar laut teritorial yang unform
inilah yang menyebabkan kandasnya usaha liga bangsa-bangsa untuk mengadakan
kodifikasi hokum laut mengenai penguasaan laut.
Suatu keberatan besar bagi bangsa Indonesia karna cara
tersebut kurang atau sama sekali tidak memperhatikan sifat khusus dari pada
inndonesia sebagai suatu Negara kepulauan (archipelago). Menurut cara
pengukuran laut territorial yang klassik yaitu dihitung dari base-line yang
berupa garis air rendah secara teoritis setiap dari tiga ribu (3000) pulau di
Indonesia itu mempunyai laut teritorialnya sendiri, dapatlah dibayangkan bahwa
keadaan demikian sangat menyukarkan pelaksanaan tugas pengawasan laut dengan
sempurna karena susunan daerah yang harus diawasi. Demikian ruwet
kantong-kntong berupa laut bebas di tengah-tengah dan diantara bagian darat
(pulau) dari wilayah Negara Indonesia ini menempatkan petugas dalam keadaan
yang sulit karena mereka harus memperhatikan setiap waktu
Berdasarkan
pertimbangan –pertimbangan diatas perlu dicari pemecahan persoalan yang berpokok
pada pendirian, bahwa kepulauan Indonesia itu merupakan satu kesatuan (unit)
dan bahwa lautan diantara pulau-pulau kita itu merupakan satu bagian yang tidak
dapat dilepaskan dari bagian darat (pulau-pulau) Negara kita. Perkataan “tanah
air” dalam bahasa Indonesia cukup menjadi bukti bahwa pendirian itu secara atau
tidak sudah meresap pada pikiran rakyat itu. Berdasarkan pendirian ini maka
lautan territorial harus terletak sepanjang garis yang menghubungkan titik
ujung terluar dari pada kepulauan Indonesia.
Keputusan mahkamah internasioanal tahun 1951 :
Cara penentuan laut territorial di sekeliling kepulauan
Indonesia menurut cara yang kita perbincangkan sekarang mau tidak mau akan
mengambil sebagai suatu garis dasar (base line) suatu garis lurus yang
menghubungkan titik yang terluar dari pada kepulauan Indonesia. Cara penarikan
“straight base line from point to point” ini mendapat pengakuan dalam hokum
internasional dengan keputusan mahkamah dalam anglo Norwegia Fisheries case
pada tanggal 18 desember 1951.
Cara penenetuan base-line yang di
tetap kan dalam royalnorwegia degree dari tanggal 12 juli ini di benarkan oleh
mahkamah yang menyatakan “that the base- lines fixed by the said degree were
not contary to international law .
Sangat menarik adalah sebab yang mendorong mahkamah
internasional untuk mengambil keputusan itu katanya disebabkan oleh “
geographical realities “ dan juga di pengaruhi oleh economic interes ”.walaupun
keadaan gegrafis Indonesia berlainan yakni garis-garis yang menghubungkan titik
ujung akan jauh lebih panjang dari pada garis terpanjang yang diketengahkan
dalam pertikaian antara inggris dan norwegia itu (44 mil). Namun kadaan
Indonesia sebagai suatu pulau cukup unik untuk dapat membenarkan cara penentuan
garis pangkal ( base line) yang serupa. Yang penting dalam Anglo Norwegia
Fisheries case ini adalah bahwa suatu cara penarikan garis pangkal yang lain
dari pada cara yang klasik (yaitu menurut garis air rendah) telah mendapat
pengakuan dari Mahkamah ineternasional. Jadi, yang kita lakukan adalah
peninjauan kembali dari pada base line (garis pangkal) yang disesuaikan dengan
keadaan Indonesia sebagai suatu kepulauan.
Selanjutnya pendirian delagasi ditentukan pula oleh
deklarasi pemerintah pada tanggal 13 desember 1957 mengenai wilayah perairan
Indonesia harus diusahakan dan diperjuangkan oleh delegasi supaya konferensi di
jenewa menerima tambahan satu artikel yang mengatur soal laut teritorial di
sekitar kepulauan sebagai suatu kesatuan (unit). Sebagi konsekuensi dari pada
deklarasi pemerintah Ri tanggal 13 desember 1957 harus pula diperjuangkan agar
konperensi jangan sampai menentukan suatu limit maximum bagi panjangnya
“straight base-line from point to point”. Demikian pila sesuai dengan deklarasi
pemerintah tanggal 13 desember 1957 harus diperjuangkan agar laut territorial
dapat ditentukan menjadi 12 mil.
2.3. Sejarah
perkembangan hukum laut internasional
Semenjak berakhirnya perang dunia ke II, hokum laut
merupakan cabang hokum internasional telah mengalami perubahan-perubahan yang
mendalam dan bahkan dapat dikatakan telah mengalami revolusi sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan zaman. Bila dulu hukum laut pada pokoknya hanya
mengurus kegiatan-kegiatan diatas permukaan laut. Tetapi dewasa ini perhatian
juga telah diarahkan pada dasar laut dan kekayaan mineral yang terkandung
didalamnya. Hokum laut yang dulunya bersifat un dimensional sekarang telah berubah
menjadi plu dimensional yang sekaligus merombak filosofi dan konsepsi hokum
laut dimasa lalu.
Memang konferensi PBB 1 tentang hokum laut tahun 1958 di
jenewa, UNITED NATIONS CONFERENCE ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) berhasil
mengeluarkan konvensi, namun masih banyak lagi masalah hokum yang belum
diselesaikan sedangkan ilmu pengetahuaan dan teknologi berkembang dengan pesat.
Konvensi-konvensi pada tahun 1958 bukan saja belum mengatur semua persoalan
tetapi ketentuan –ketentuan yang adapun dalam waktu yang pendek tidak lagi
memadai dan telah ditinggalkan perkembangan teknologi. Disamping itu
Negara-negara yang lahir susudah tahun 1958 yang jumlahnya sedikit dan yang
tidak ikut merumuskan konvens-konvensi tersebut menuntut agar dibuatnya
ketentuan-ketentuan baru dan merubah ketentuan yang tidak sesuai.
Demikian untuk menyesuaikan ketentuan-ketentuan yang ada
dengan perkembangan-perkembangan yang terjadi dan menampung masalah-masalah
yang dating kemudian. Majelis umum PBB tahun 1976 membentuk suatu badan yang bernama
UNETED NATIONS seabed committee, siding-sidang komite ini kemudian dilanjutkan
dengan konferennsi hokum laut III (UNCLOS) yang siding pertamanya diadakan di
new York bulan September tahun 1973 dan yang 9 tahun kemudian berakhir dengan
penandatanganan konvensi PBB tentang hokum laut pada tanggal 10 desember 1982
di montage bay , jamaica
Pada masa kuno,Ø kebutuhan pengaturan di bidang
hukum laut “internasional” mulai muncul ketika bangsa-bangsa mulai memanfaatkan
laut sebagai sarana transportasi. Perkembangan Hukum Laut
Internasional pada masaØ modern dianggap dimulai pada abad
XVII melalui karya Hugo Grotius yang berjudul “Mare Liberum.”
“Mare Liberum” merupakan tulisan yangØ dibuat oleh Grotius untuk mendukung
klaim VOC terhadap perairan Hindia Belanda yang sebelumnya diklaim oleh
Portugis dengan konsep “Mare Clausum.” Namun sebagian pemegang saham kurang
setuju denganØ penggunaan kekerasan tanpa
kewenangan yang menyertai perampasan “Santa Catarina”. Setelah muncul
kontroversi, VOC meminta Hugo GrotiusØ untuk menyusun argumentasi
mendukung perampasan Santa Catarina. Grotius membenarkan perampasan terhadap
kapal Portugis berdasarkan konsep “Mare Liberum” : Laut adalah wilayah yang
bebas dipergunakan oleh bangsa manapun, tidak bisa dimonopoli oleh suatu
negara.Monopoli Portugis di lautan Hindia bertentangan dengan “prinsip keadilan
alamiah.”
Konsep “Mare Liberum” kemudian ditentang oleh Inggris yang
saat itu sedang bersaing dengan Belanda untuk menguasai lautan. Inggris kembali
menegaskan konsep “Mare Clausum.” Menurut konsep “Mare Clausum”, laut
adalah wilayah yang dapat dimiliki sebagaimana wilayah darat.
Dalam praktik, negara-negara mengambil jalan tengah: ada
bagian laut yang bisa dimiliki dan ada bagian laut lepas. Salah satu gagasan
tentang kepemilikan laut didasarkan pada kemampuan penguasaan efektif oleh
negara pantai berdasarkan jangkauan tembakan meriam (ketika itu) dari darat,
yakni selebar 3 mil.
Sejak saat itu, negara-negara mulai mengembangkan Hukum
Internasional Kebiasaan di dalam pemanfaatan laut.
Upaya kodifikasi:
·
International Law Association (1873)
·
Institute of International Law (1873)
·
Harvard Law School
·
Liga Bangsa-bangsa / LBB (1930)
·
PBB à International Law Commission : UNCLOS 1958, UNCLOS
1960, UNCLOS 1982.
2.4. Perkembangan-perkembangan yang timbul sejak tahun 1949
sampai dengan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa 1982 tentang Hukum Laut
Pada sesi pertama, pada tahun 1949, Komisi Hukum Internasional
dipilih kedua rezim perairan teritorial dan bahwa dari laut lepas sebagai topik
untuk kodifikasi. Komisi menunjuk Mr François, sebagai Pelapor Khusus untuk
topik laut lepas pada tahun 1949, dan kemudian diperpanjang mandatnya untuk
memasukkan juga topik laut teritorial. Topik-topik yang dianggap oleh Komisi
pada kedua untuk sesi kedelapan, 1950-1956 masing-masing, atas dasar laporan
dari informasi, Pelapor Khusus yang disediakan oleh Pemerintah dan Organisasi
Internasional, serta dokumen yang disiapkan oleh Sekretariat. Draft final
berkaitan dengan landas kontinen, perikanan dan zona tambahan yang diajukan
oleh Komisi kepada Majelis Umum pada sidang kelima, pada tahun 1953. Pada tahun
1956, Komisi mengadopsi laporan akhir pada laut teritorial. Pada sesi yang
sama, semua artikel draft mengenai hukum laut yang dimasukkan dalam tubuh
sistematis tunggal untuk membentuk draft akhir pada hukum laut.
Setelah pembahasan laporan dari Komisi Hukum Internasional pada
karya sesi kedelapan (A/CN.4/104), Majelis Umum mengadopsi Resolusi 1105 (XI)
dari 21 Februari 1957, oleh yang memutuskan untuk mengadakan Amerika Konferensi
PBB tentang Hukum Laut di Jenewa dari 24 Februari-27 April 1958. Delapan puluh
enam negara berpartisipasi dalam konferensi.
Sesuai dengan resolusi di atas, amanat Konferensi adalah untuk
menguji hukum laut, dengan mempertimbangkan tidak hanya dari hukum tetapi juga
dari, teknis biologis, aspek ekonomi dan politik dari masalah, dan untuk
mewujudkan Hasil kerja dalam satu atau lebih konvensi atau instrumen lain yang
sesuai.
Empat konvensi terpisah diadopsi oleh Konferensi pada tanggal 29
April 1958 dan dibuka untuk ditandatangani sampai dengan 31 Oktober 1958, dan
setelah itu dibuka untuk aksesi oleh semua negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa, serta negara lain dan badan-badan khusus diundang oleh Majelis
Umum untuk menjadi pihak kepada: Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan (mulai
berlaku pada tanggal 10 September 1964), sedangkan Konvensi tentang High Seas (mulai berlaku pada tanggal 30
September 1962), sedangkan Konvensi tentang Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati Laut Tinggi (mulai berlaku pada tanggal 20 Maret 1966), dan Konvensi tentang Landas Kontinen (mulai berlaku pada tanggal
10 Juni 1964). Selain itu, Protokol Opsional dari Signature Mengenai Penyelesaian Sengketa
Wajib diadopsi, yang mulai berlaku pada tanggal 30 September 1962.
Sebuah konferensi
kedua diadakan pada tahun 1960 untuk
mempertimbangkan topik yang belum disepakati pada Konferensi 1958. Sebuah
konferensi ketiga diselenggarakan 1973-1982, sehingga penerapan Konvensi PBB
tentang Hukum Laut, yang telah diganti, bagi mereka pesta-negara itu, empat
konvensi yang diadopsi pada tahun 1958.
2.5 Hukum laut menurut
renzim yang dibentuik oleh konvensi PBB tanggal 10 Desember 1982.
Konvensi dibuka untuk ditandatangani
pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika. Ini menandai puncak dari
lebih dari 14 tahun kerja yang melibatkan partisipasi lebih dari 150 negara
yang mewakili semua wilayah dunia, semua sistem hukum dan politik dan spektrum
pembangunan sosial / ekonomi. Pada saat adopsi, Konvensi diwujudkan dalam satu
aturan alat musik tradisional untuk penggunaan lautan dan pada saat yang sama
memperkenalkan konsep-konsep hukum baru dan rezim dan ditujukan keprihatinan
baru. Konvensi ini juga menyediakan kerangka kerja untuk pengembangan lebih
lanjut dari daerah tertentu dari hukum laut.
Sesuai
dengan Hukum Laut Internasional yang telah disepakati oleh PBB tahun 1982.
Wilayah perairan laut Indonesia dapat dibedakan tiga macam, yaitu :
a. zona Laut Teritorial
b. zona Landas kontinen
c. zona Ekonomi Eksklusif
a.
Zona
Laut Teritorial
Batas laut Teritorial
ialah garis khayal yang berjarak 12 mil laut dari garis dasar ke arah laut
lepas. Jika ada dua negara atau lebih menguasai suatu lautan, sedangkan lebar
lautan itu kurang dari 24 mil laut, maka garis teritorial di tarik sama jauh dari
garis masing-masing negara tersebut.
Laut yang terletak antara garis
dengan garis batas teritorial di sebut laut teritorial. Garis dasar adalah
garis khayal yang menghubungkan titik-titik dari ujungujung pulau terluar.
Sebuah negara mempunyai hak kedaulatan sepenuhnya sampai batas laut teritorial,
tetapi mempunyai kewajiban menyediakan alur pelayaran lintas damai baik di atas
maupun di bawah permukaan laut. Deklarasi Djuanda kemudian diperkuat/diubah
menjadi Undang-Undang No.4 Th.1960.
b.
Zona landas kontinen
Landas Kontinen ialah dasar laut yang secara geologis maupun morfologi merupakan
lanjutan dari sebuah kontinen (benua). Kedalaman lautnya kurang dari 150 meter.
Indonesia terletak pada dua buah landasan kontinen, yaitu landasan kontinen
Asia dan landasan kontinen Australia.
Adapun batas landas kontinen tersebut diukur dari garis dasar, yaitu
paling jauh 200 mil laut. Jika ada dua negara atau lebih menguasai lautan di
atas landasan kontinen, maka batas negara tersebut ditarik sama jauh dari garis
dasar masing-masing negara.
Di dalam garis batas landas kontinen, Indonesia mempunyai kewenangan
untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalamnya, dengan kewajiban
untuk menyediakan alur pelayaran lintas damai. Pengumuman tentang batas landas
kontinen ini dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Febuari 1969
Pada hakekatnya rezim landas kontinen lahir melalui
pernyataan-pernyataan unilateral dan kadang melalui jalan
konvensional.selanjutnya konferensi jenewa 1958 membuat ketentuan mengenai dasar
laut tersebut yang kemudian disempurnakan dalam konvensi.setelah tahun 1958
banyak negara yang mengeluarkan undang-undang tentang landas kontinen dan
membuat perjajian yang didasarkan atas ketetuan yang terdapat dalam konvensi
jenewa tersebut. Termasuk Indonesia yaitu Undang-Undang nomor 1 tahun 1973
tentang Landas Kontinen Indonesia.
Konvensi jenewa 1958 tentang landas kontinen berhasil untuk
menentukan secara umum,rezim yang sam mengenai landas kontinen.konvensi yang
hanya berisikan 15 pasal tersebut mulai berlaku sejak 10 Juni 1964 setelah
ratifikasi ke-22 oleh Inggris.
Pasal 1 konvensi jenewa menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan landas kontinen adalah :
Dasar dan lapisan tanah dibawah laut yang berbatasan dengan
pantai tetapi berada diluar daerah laut wilayah sampai kedalaman 200-350 meter
atau daerah yang lebih dalam lagi dimana dalam airnya memungkinkan eksploitasi
sumber-suumber daya alam di daerah tersebut.
Dasar dan lapisan tanah di bawah laut seperti di atas yang
berbatasan dengan pantai kepulauan.
Dalam hal ini, konvensi jenewa tidak lagi memasukkan landas
kontinen yang berada di bawah laut wilayah karena secara otomatis landas
kontinen tersebut berada sepenuhnya di bawah kedaulatan negara pantai seperti
kedaulatannya terhadap laut wilayah itu sendiri.jadi konvensi hanya mengatur
landas kontinen diluar laut wilayah sampai kedalaman 200 meter atau lebih.
Sebuah negara bisa menetapkan landas kontinennya secara
maksimal yaitu 350 mil apabila mempunyai teknologi yang canggih untuk melakukan
eksploitasi dan eksplorasi terhadap jarak 350 mil tersebut. Cara mengklaim
landas kontinen yaitu dengan cara mengklaim, kemudian membuat perjajian dengan
negara tetangga. Ketika perjajian sudah disetujui maka kemudian di depositkan
atau disimpan di sekjen PBB.
c. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) adalah
zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona
tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan
berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di
atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul
dari kebutuhan yang mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada
kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi
negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.
Berdasarkan
undang-undang dasar Republlik Indonesia nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia menyebutkan bahwa :
“Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan
berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan
undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut,
tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil
laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia”.
Konsep dari ZEE telah jauh diletakan di depan untuk pertama kalinya
oleh Kenya pada Asian-African
Legal Constitutive Committee pada Januari 1971, dan pada Sea Bed Committee PBB
di tahun berikutnya. Proposal Kenya menerima support aktif dari banyak Negara
Asia dan Afrika. Dan sekitar waktu yang sama banyak Negara Amerika Latin mulai
membangun sebuah konsep serupa atas laut patrimonial. Dua hal tersebut telah
muncul secara efektif pada saat UNCLOS dimulai, dan sebuah konsep baru yang
disebut ZEE telah dimulai.
Ketentuan utama dalam Konvensi Hukum Laut yang berkaitan dengan ZEE
terdapat dalam bagian ke-5 konvensi tersebut. Sekitar tahun 1976 ide dari ZEE
diterima dengan antusias oleh sebagian besar anggota UNCLOS, mereka telah
secara universal mengakui adanya ZEE tanpa perlu menunggu UNCLOS untuk
mengakhiri atau memaksakan konvensi.
Penetapan universal wilayah ZEE seluas 200 mil akan memberikan
setidaknya 36% dari seluruh total area laut. Walaupun ini porsi yang relatif
kecil, di dalam area 200 mil yang diberikan menampilkan sekitar 90% dari
seluruh simpanan ikan komersial, 87% dari simpanan minyak dunia, dan 10%
simpanan mangan.
Lebih jauhnya, sebuah porsi besar dari penelitian scientific kelautan
mengambil tempat di jarak 200 mil dari pantai, dan hampir seluruh dari rute
utama perkapalan di dunia melalui ZEE negara pantai lain untuk mencapai
tujuannya. Melihat begitu banyaknya aktifitas di zona ZEE, keberadaan rezim
legal dari ZEE dalam Konvensi Hukum Laut sangat penting adanya.
Hak berdaulat, kewajiban yurisdiksi dan hak-hak lain di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia.
Hal ini di atur dalam Bab III pasal 4 UU no.5 Tahun 1983
Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang menyebutkan bahwa :
1) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
Republik Indonesia mempunyai dan melaksanakan :
a. Hak berdaulat untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati
dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan
kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona
tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin;
b. Yurisdiksi yang berhubungan dengan :
1. Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau
buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya;
2. Penelitian ilmiah mengenai kelautan;
3. Perlindungan dan pelestarian
lingkungan taut;
c. Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban
lainnya berdasarkan Konvensi Hukum Laut yang berlaku.
2) Sepanjang yang bertalian dengan
dasar laut dan tanah di bawahnya, hak berdaulat, hakhak lain, yurisdiksi dan
kewajiban-kewajiban Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
menurut peraturan perundang-undangan Landas Kontinen Indonesia,
persetujuan-persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara-negara tetangga
dan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku-
3) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta
kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum laut internasional yang berlaku.
Hak berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh undang-undang ini
tidak sama atau tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan
dilaksanakan oleh Indonesia atas laut wilayah, perairan Nusantara dan perairan
pedalaman Indonesia. Berdasarkan hal tersebut diatas maka sanksi-sanksi yang
diancam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi yang
diancam di perairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia tersebut.
Batas luar dan Lebarnya zona ekonomi eksklusif
Angka yang dikemukakan mengenai lebarnya zona ekonomi
eksklusif adalah 200 mil atau 370,4 km. kelihatannya angka ini tidak
menimbulkan kesukaran dan dapat diterima oleh negara-negara berkembang dan
negara-negara maju.semenjak dikemukakannya gagasan zona ekonomi, angka 200 mil
dari garis pangkal sudah menjadi pegangan.sekiranya lebar laut wilayah 12 mil
sudah diterima, seperti kenyataannya sekarang ini, sebenarnya lebar zona
ekonomi eksklusif adalah 200-12 = 188 mil. Sebagaimana telah dikemukakan
hak-hak negara pantai atas kedua laut tersebut berbeda yaitu kedaulatan penuh
atas laut wilayah(teritorial) dan hak-hak berdaulat atas zona ekonomi untuk
tujuan eksploitasi sumber kekayaan yang terdapat di daerah laut tersebut.
Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut territorial.
Zona batas luas tidak boleh melebihi kelautan 200 mil dari garis dasar dimana
luas pantai territorial telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini
menyarankan bahwa 200 mil adalah batas maksimum dari ZEE, sehingga jika ada
suatu negara pantai yang menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu,
negara itu dapat mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara
pantai tidak akan memilih mengurangi wilayah ZEEnya kurang dari 200 mil, karena
kehadiran wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas
200 mil menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya adalah berdasarkan
sejarah dan politik : 200 mil tidak memiliki geographis umum, ekologis dan
biologis nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling banyak di klaim oleh negara
pantai adalah 200 mil, diklaim negara-negara amerika latin dan Afrika. Lalu
untuk mempermudah persetujuan penentuan batas luar ZEE maka dipilihlah figur
yang paling banyak mewakili klaim yang telah ada. Tetapi tetap mengapa batas
200 mil dipilih sebagai batas luar jadi pertanyaan. Menurut Prof. Hollick,
figure 200 mil dipilih karena suatu ketidaksengajaan, dimulai oleh negara
Chili. Awalnya negara Chili mengaku termotifasi pada keinginan untuk melindungi
operasi paus lepas pantainya. Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50
mil, tapi disarankan bahwa sebuah contoh diperlukan. Dan contoh yang paling
menjanjikan muncul dalam perlindungan zona adalah diadopsi dari Deklarasi
Panama 1939. Zona ini telah disalahpahami secara luas bahwa luasnya adalah 200
mil, padahal faktanya luasnya beranekaragam dan tidak lebih dari 300 mil.
Delimitasi
Zona Ekonomi Eksklusif
Mengingat ZEE yang merupakan zona baru,dalam penerapannya
oleh negara-negara menimbulkan situasi bahwa negara-negara yang
berhadapan atau berdampingan yang jarak pantainya kurang dari 200 mil laut
harus melakukan suatu delimitasi (batasan) ZEE satu sama lain.seperti halnya
delimitasi batas landas kontinen,prinsip hukum delimitasi ZEE diatur dalam pasal
74 konvensi hukum laut 1982.rumusan pasal ini secara mutatis mutandis sama
dengan pasal 83 tentang delimitasi landas kontinen.
Sebelum zona ini lahir, negara-negara pada umumnya mengenal
konsepsi zona perikanan sehingga perjanjian yang dibuat adalah perjanjian batas
zona perikanan pula.perjanjian batas ZEE antar negara berdasarkan konvensi
hukum laut 1982 masih belum begitu banyak.Indonesia baru menetapkan perjanjian
ZEE hanya dengan australia melalui perjajian antara pemerintah republik
Indonesia dengan pemerintah Australia tentang penetapan batas Zona Ekonomi
Ekssklusif dan batas-batas dasar laut tertentu yang ditandatangani di Perth,
pada tanggal 14 Maret 1997. Indonesia masih harus membuat perjanjian ZEE dengan
seluruh negara yang berbatasan laut dengan Indonesia kecuali Australia.
LAUT LEPAS (high seas)
Sudah merupakan suatu hukum
kebiasaan bahwa laut itu di bagi atas beberapa zona, dan zona yang paling jauh
dari pantai dinamakan laut lepas. Berdasarkan pasal 86 konvensi PBB tentang
hukum laut menyatakan bahwa laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang
tidak termasuk dalam zona ekonoi eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam
perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara
kepulauan. Jadi sesuai definisi ini laut lepas terletak di bagian luar zona
ekonomi eksklusif.adapun prinsip hukum yang mengatur rezim dilaut lepas adalah prinisip
kebebasan.. oleh karena itu pada dulunya negara-negara anglo-saxon menamai
laut lepas itu open sea. Namun demikian prinsip kebebasan ini harus pula
dilengkapi dengan tindakan-tindakn pengawasan, kerena kebebasan tanpa
pengawasan dapat mengacau kebebasan itu sendiri.
prisip
kebebasan di laut lepas :
Secara umum dan sesuai dengan pasal
87 konvensi, kebebasan dilaut lepas berarti bahwa laut lepas dapat digunakan
oleh negara manapun. Menurut pasal 87 konvensi tersebut diatas
kebebasan-kebebasan tersebut antara lain :
- kebebasan berlayar,
- kebebasan penerbangan,
- kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut,
dengan mematuhi ketentuan-ketentuan bab VI konvensi,
- kebebasan untuk membangun pulau buatan dan
instalasi-instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum
internasional dengan tunduk kepada babVI,
- kebebasan menangkap ikan dengan tunduk pada persyaratan
yang tercantum dalam sub bab II,
- kebebasan riset ilmiah, dengan tunduk pada bab VI dan
bab XIII.
Kebebasan ini berarti juga bahwa tidak satupun negara yang dapat menundukkan kegiatan apapun di laut lepas di bawah
kedaulatannya dan laut lepas hanya dapat digunakna untuk tujuan-tujuan damai
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam pasal-pasal 88 dan 89 konvensi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Pengantar Hukum Internasional . Edisi kesepuluh.
Istanto, F Sugeng. 1994. Hukum Internasional. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya.
Isyawara F. 1972. Pengentar Hukum Internasional. Bandung : Alumni
Buku ajar.2006. hokum internasional fis unp.
Kusumadjmatja, mochtar. 1976. Pengantar hokum internasional buku 1: bandung: ina cipta
Boer
mauna, hukum internasional, pengertian, peranan dan fungsi dalam era dinamika
global, edisi kedua, Alumni, Bandung, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar